Senin, 09 Januari 2012

Beribadah berlebih-lebihan, bolehkah?



Ibadah apa pun itu, bernilai baik jika dilakukan dengan hati yang ikhlas, sedikit maupun banyak. Namun kadang kala hati yang tadinya ikhlas bisa berubah menjadi tidak ikhlas manakala ibadah yang dilakukan terlalu over/berlebihan. Seperti halnya shalat semalam suntuk, puasa sepanjang hari, dan lain sebagainya. Memang sepintas kelihatannya sangat baik untuk dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Namun siapa sangka, jika ibadah semacam ini dapat menumbuhkan rasa jemu dan bosan, bahkan hati yang tadinya ikhlas bisa berubah menjadi tidak ikhlas hanya gara-gara ibadah yang terlalu over.

Selain itu, bahaya dari ibadah semacam ini dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kewajiban-kewajiban lain misalnya kewajiban belajar, kewajiban berbakti kepada orang tua, kewajiban mencari rezeki yang halal, kewajiban memelihara kesehatan jasmani dan lain sebagainya.

Terkait dengan hal itu, ada sebuah hadits yang menyinggung tentang hal tersebut,
berikut cuplikannya :

“Sewaktu Nabi saw masuk ke rumahnya, ada tiga orang tamu wanita. Lalu, beliau bertanya kepada ‘Aisyah (istrinya), “Siapakah mereka itu?” Jawab ‘Aisyah, “Mereka itulah yang dikenal ibadah salatnya paling banyak.” Kemudian Nabi saw bersabda, “Dengarkanlah nasihatku ini hai kaum ibu, lakukanlah (ibadah itu) sekuat tenagamu saja, jangan terlalu merepotkan/memaksakan diri, karena Allah tiada jemu menerima amal ibadahmu, sehingga kamu sendiri yang akan jemu. Dan perilaku agama yang sangat disenangi Allah yaitu yang dilaksanakan terus menerus pelakunya.” (H.R. Bukhari-Muslim dari ‘Aisyah r.a.)

Nah, dari hadits diatas dapat dipahami bahwa ibadah yang dilakukan secara over/berlebihan dapat membuat orang merasa jemu sehingga timbul perasaan bosan untuk melakukannya lagi. Padahal Allah tidak pernah jemu apalagi bosan untuk menerima amal ibadah manusia. Oleh karena itu, dalam hadits di atas Rasulullah berpesan kepada manusia, agar melakukan ritual ibadah sewajarnya saja, sedikit tapi jika dilakukan terus-menurus (istiqamah) itu lebih baik disisi Allah dari pada banyak tapi merasa berat dan tidak ikhlas.

Lalu bagaimana dengan orang sufi (zuhud), bukankah mereka juga berlebih-lebihan dalam beribadah?

Ya benar, mereka adalah orang-orang khusus yang dikaruniai Allah sehingga mampu beribadah diluar batas kenormalan manusia.

Lalu bagaimana dengan kaitannya hadits di atas?

Inti dari hadits di atas sebenarnya adalah “lakukanlah ibadah sekuat tenaganya saja (sewajarnya), jangan terlalu merepotkan/memaksakan diri, karena kalau tidak, maka akan timbul rasa jemu di hati, padahal Allah tidak pernah merasa jemu menerima amal manusia.” Sedangkan orang sufi seperti halnya Syekh Abdul Qadir Jailani, yang ibadahnya diluar batas kenormalan manusia, adalah manusia khusus yang diberi kekuatan khusus oleh Allah sehingga dalam ibadahnya beliau tidak pernah merasa jemu, apalagi bosan. Boleh dikata, bahwa apa yang dilakukan beliau masih dibatas kenormalan dan kewajaran (sesuai dengan tenaga, tanpa ada rasa merepotkan/memaksakan diri) dalam level beliau tentunya, level sufi, beda dengan kita yang kapasitasnya masih di level bawah.

Lalu bagimana cara kita untuk mengukur, apakah ibadah kita berlebihan atau tidak?

Untuk bisa mengukur apakah ibadah kita berlebihan atau tidak, bisa kita tanyakan pada diri kita sendiri. Karena yang tahu hanyalah kita sendiri bukan orang lain.

Sebagai contoh, misalnya, perbedaan shalat tarawih orang indonesia dengan shalat tarawih orang mekkah. Di indonesia shalat tarawih bervariasi ada yang ambil 8 rakaat dan ada yang 20 rakaat itupun dilaksanakan dengan super express alias cepat, setengah jam langsung selesai. Berdirinya pun tak lama, karena bacaan surat yang digunakan adalah surat pendek, dari at-takatsur sampai surat an-naas. Beda halnya dengan mekkah, yang shalat tarawihnya tidak hanya menggunakan surat pendek tapi juga surat panjang, dari al-fatihah sampai surat an-nas, selesainya pun sampai ber-jam-jam. Bagi orang Indonesia mungkin ini yang disebut dengan “ibadah over/berlebihan” tapi bagi mereka (orang mekkah) tidak demikian. Ibadah semacam itu bagi mereka dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena dari dulu kebiasaannya memang demikian. Oleh karena itu mereka tidak pernah merasa jemu dan merasa repot/memakskan diri, apalagi bosan untuk mengulanginya lagi.

Kesimpulannya adalah ibadah berlebihan tidak boleh dilakukan selama hati masih merasa jemu dan terlalu merepotkan/memaksakan diri apalagi sampai melupakan dan mengabaikan kewajiban lain seperti kewajiban istri, kewajiban memelihara kesehatan jasmani, kewajiban berbakti kepada orang tua, dan kewajiban-kewajiban yang lainnya.

Selebihnya wallahua’lam bishawab.

2 komentar: